Postingan

Pada Saatnya, Badai pun Berlalu

  Di tahun ketiga pelarian dirinya dari hiruk pikuk Jakarta, Neng sudah lupa sama sekali bagaimana rasanya stress dan depresi. Suasana Yogyakarta, pemandangan, orang-orangnya, dan strateginya mengkondisikan diri sepertinya ampuh menyembuhkan sakit mental yang dulu sempat membuatnya seperti bukan manusia. Ahh … membayangkan rasanya dulu seperti apa dia sudah lupa. Dia hanya tahu, dulu pernah merasa tertekan setiap hari, selama tiga tahun, dengan kecemasan yang sulit dikendalikan, hingga sering berharap saat menjelang tidur, ditakdirkan tidak bernafas lagi di pagi hari. Suatu hari di pagi yang cerah, hari ke-24 bulan Ramadhan, Neng menyadari kemewahan yang dia miliki setelah berhasil menyelesaikan tugas-tugas sebelum tenggat waktu. Fisiknya berhak mendapat relaksasi. Neng memutuskan untuk merekonstruksi ulang kejadian yang membuatnya menyingkir ke Yogya dan bagaimana dia berproses mengatasi depresi. Mudah-mudahan bisa menjadi pelajaran. Anxiety Disorder . Penyakit mental yang menyeb

Menjernihkan Nurani

Yogya memasuki musim panas. Entah sudah berapa bulan air turun hanya berupa embun di pagi hari. Siang menjadi begitu terik, seperti hari itu saat pesan wa masuk ke teleponnya. "Tante, aa Udin ga bisa jemput. Motornya dipakai uwak Tati"  Nina, keponakannya mengadu dari radius 695 km jauhnya, di Tangerang Selatan.  Hmmhh ... batin Tuti mengeluh ... akhirnya semua jadi bebannya juga. Bintang, kakaknya Nina yang awalnya ditugaskan menjaga adiknya lebih memilih tinggal dengan ayah dan ibu tirinya di Jakarta. Udin, yang sudah lulus SMK masih belum bekerja, mengandalkan sepeda motor dari uwak Tati yang sudah jadi orang tua angkatnya. Bahkan, uwak Tati, kakak Tuti yang berjanji menjemput Nina sekaligus Ifat anakanya, berhalangan juga. Pun, Bagas, anaknya yang SMA dia mintakan tolong untuk menjemput selalu beralasan sekolahnya belum selesai. Akhirnya dia mengirimkan saldo pembayaran untuk ojek online. Bebannya akan membengkak, Rp16.000,00 sekali jalan dari stasiun jurang mangu ke ruma

Demi Buah Salak

Gambar
Senin, 20 Mei 2019 ... Demi apa coba gue install aplikasi Messenger ini lagi? Beberapa hari yang lalu, waktu kangen masa-masa berpetualang di negeri orang, gue activate lagi akun facebook buat unduh foto-foto kece. Nahh, sekilas ada pesan dari seorang kawan lama asal Kamboja. Saat itu, masih gue cuekin aja. Selesai unduh dan simpan foto lama, facebook gue deactivate lagi. Pusing liat berita-berita panas berseliweran, padahal sudah meng- unfriend banyak. Lhaa ... biasanya teman-teman dari luar negeri, kasih kabar dari facebook kan ya? Pesannya, yaa lewat aplikasi Messenger. Wahh .. jangan-jangan dia nanya kemungkinan ketemu. Seneng kan ya, kalo ke luar negeri untuk acara formal, terus kita bisa pamer ini lhoo saya punya teman di sini ... ha ha ... Oke lahh, demi jaringan pertemanan, siapa tahu nanti jaringan kerja sama G to G ... he he “ Hi , Suci –san ... do you live in Jakarta?” ternyata Sovyl yang bertanya. “ I work in Jakarta, but live outside Jakarta,” enaknya punya teman dar

Pintu Kota

Di pantai Pintu Kota Ambon kutemukan senyum istimewa. Begitu manis, ramah, dan ceria Menetap di hati tak lekang masa. Senyum indah penuh pesona tiada satu di ribuan wajah. Menyesali kesan pertama menganggapnya biasa saja. Kukembali ke kota Ambon menyusuri pantai-pantainya. Coba lagi temukan dia, pemilik senyum yang istimewa.

Assalaamu'alaikum, Krisna

Aku tersanjung karena mata mu yang berkaca-kaca saat mengatakannya. Ketulusanmu menembus hatiku. Tapi percayalah, semua yang sempat kau tahu hanya topeng. Aku bukan orang yang ada dalam kenanganmu yang terlanjur terukir indah. Andai kau percaya, akan kukatakan yang sebenarnya. Kalau pun kau tak percaya, biarlah aku ingin jujur kepada diriku sendiri. Memantapkan hati menuju apa yang kuinginkan. Sejak lama sekali. Aku hanya perempuan akhir zaman, yang sejak masa pertamanya menjadi wanita punya mimpi: hanya disibukkan urusan mendidik anak, menyediakan makan untuk setiap hari, merawat rumah dan mematut diri. Tapi di sini aku, mendapat begitu banyak anugrah. Tahta, harta, keluarga. Aku ingin memilih yang terakhir, tapi tak bisa. Kalau umurku panjang, aku ingin tetap mandiri saat tak sanggup bekerja lagi. Dan sungguh, inginku tak lama. Sekadar aku bisa mendapat jatah sesuai kebutuhan seorang lanjut usia. Jadi yang kulakukan hanya bertahan. Menyelesaikan apa yang kubisa. Kalau kau lihat aku b

Apakah Bunda Selelah Ini?

Alam sadar seolah menyuruhnya membuka mata. Spontan yang dilihat adalah jam dinding kamarnya, " Ya ampuun, masih jam tujuh kurang 15 menit aku kan masih bisa bangun lebih siang," batinnya. Hari Sabtu seharusnya jadi hari bermalas-malas sedunia. Tambahan lagi, kepalanya penat, tubuhnya letih, dan jiwanya lelah dalam sepekan. Lengkap sudah pembenarannya untuk menarik selimut lagi. Dengkuran keras suaminya seolah jadi musik pengantar tidur lagi. Ia mencoba menenangkan diri, menguasai alam sadarnya untuk mencoba rileks dan tidur lagi ... berhasil. Matanya terbuka lagi seiring nada dengkuran suaminya berganti. Antara penat dan sepat, malas dan sadar dia punya kewajiban setiap pagi, otaknya seperti tak mau dibujuk untuk rileks lagi. Hahh ... jam tujuh kurang sepuluh menit? Meski hanya lima menit tidur, ia harus bangun memulai hidup di hari itu. "Aku belum masak, gelas-gelas belum dicuci, pakaian kotor belum dieksekusi, bahan makanan seminggu sudah habis," sederet tugas

Ku Lihat Kau Bahagia

Engkau memancarkannya. Dari tawa yang selalu menghias wajah lelah mu. Saat kau bercanda dengan ombak, memeluk damai di gunung, atau  bermanja-manja dengan hijaunya sawah. Hatiku bungah melihatnya. Harusnya kau tahu. Lewat dingin pagi yang membuatmu terjaga untuk sholat, terik mentari yang membalut sepi mu jadi hangat, atau hembusan angin yang tak pernah lelah berbisik membujukmu untuk pulang. 🌾